Cinta, Pernikahan dan Perpisahan

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya lah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

 

Wedding photo created by freepik – www.freepik.com

Demikian sepotong arti dari sebuah ayat yang sering kali aku terima beserta sebuah undangan untuk menghadiri pernikahan. Terkadang aku berpikir untuk apa menikah? Apa semua orang harus menikah?

Entah sudah berapa kali menjadi saksi dua insan disatukan dalam ikatan pernikahan,  mulai dari yang sederhana hingga pernikahan yang mewah-mewah. Di situ aku  berpikir (Kok bisa rang orang punya duit banyak gini yaa buat nikah?” kwkwkwk.

Bridal shower, pengajian, antar-antaran, akad kemudian resepsi lalu ada juga acara ngunduh mantu. Semua begitu bersemangat untuk mengadakan pesta-pesta dan pesta, semakin ke sini aku menyadari ternyata dibalik pesta yang besar terdapat gengsi yang juga tidak mahal.

Aku pun heran mengapa pernikahan ini dianggap sebagai sebuah solusi, terkadang seperti perlombaan, dan sering dianggap sebuah pencapaian.

Pernah mungkin terlihat meme yang tertulis  “ Ketika perempuan Lelah,  ia hanya ingin menikah saja”.

Padahal Ketika kita Lelah kita butuh istirahat, spa, shopping eehhh canda. Menikah tentu saja tidak mudah, selain menyatukan dua insan termasuk keluarganya. Persoalan menikah Ketika tidak ada kompromi di dalamnya bisa-bisa beban berlipat ganda akan dipanggul satu gender saja yakni perempuan.

Mirisnya, Sesukses apapun kamu terutama perempuan, orang akan menggangap kamu tidak sempurna jika belum menikah. Lalu setelah menikah, hidupmu masih belum sempurna tanpa kehadiran buah hati, tidak lupa jika kamu telah melahirkan, proses hidup matimu pun akan dipertanyakan sesar apa alami, dan akan banyak sekali stigma yang melekat pada kita baca : perempuan

Perempuan lajang memilih untuk tidak menikah dianggap tidak Bahagia karena ia hanya sendirian, perempuan single parent dengan stigma janda dianggap sebagai ancaman karena ia telah mahir di ranjang (katanya). Lajang, menikah bahkan menjanda sepertinya stigma jahanam selalu mengikuti kita.

 

Cinta Pertama, Cinta Terakhir dan Cinta lama Bersemi Kembali

Katanya cinta pertama tidak terlupakan, banyak yang berharap agar cinta pertamanya menjadi cinta abadi, selamanya. Namun, tidak semua cinta pertama berakhir seperti drama. Ada juga yang bilang cinta sejati itu cinta seorang ibu yang telah membagi tubuhnya untuk memberikan kehidupan kita.

Lalu, apa itu?

Jika Cu Pat Kai dalam mitologi film Kera Sakti, ia mengibaratkan “Begitulah cinta, penderitaanya tiada akhir…

Beberapa orang terdekatku berkata :

“Cinta itu Ketika kita bisa menerima kekurangan pasangan kita….

“Cinta itu Ketika kita bisa berkorban untuk pasangan kita…

“Cinta itu tidak bisa didefinisikan tapi dirasakan….

“Cinta itu Bahagia Ketika melihat anak-anak tumbuh dengan baik…

“Cinta tu tai….

Ternyata definisi cinta sungguh sangat beragam, tergantung situasi dominan apa kondisi kita saat itu. Jika aku bertanya pada orang yang baru patah hati ia menggap cinta itu bullshit, berbeda dengan pasangan yang sedang berbunga Ketika mereka baru saja menyatakan cinta. Ah entahlaaa…

Aku tergelitik pada lirik-lirik lagu tentang cinta terakhir, bahkan Adapun yang mencari cinta terakhir, lalu apakah Ketika ia menemukan cinta terakhirnya, ia akan berhenti mencintai?, entahlah… menurutku cinta mungkin bermula namun tidak begitu saja berakhir…

Menurutku, cinta adalah sebuah keputusan yang kamu ambil setiap waktu. Mencintai dirimu, sekitarmu, keluarga, ataupun pasangan. Tidak terbatas akan ikatan pernikahan…dan tidak terbatas hanya pada satu objek ataupun subjek saja.

Para pujangga memiliki definisi masing-masing, dengan rangkaian kata yang indah, dan kita semua mendamba cinta yang luar biasa dan baik-baik saja.

Ternyata tidak semua cinta membawa bunga-bunga di dada.

Bukan sekali, dua atau tiga kali. Seseorang bercerita padaku akan glorifikasi masa lalu yang sepertinya belum selesai. Aku tertegun, apakah setiap romansa masa lalu harus diselesaikan? Kalaupun iya apakah bisa  membangkitkan perasaan cinta yang sudah tertanam lama.

Aku pun tidak  mengerti terkait perasaan ini…

Bahkan ada pula terjebak di penghianatan pernikahan setelah terjalin ikatan setelah reuni, kemudian benih-benih cinta katanya seperti kupu-kupu yang baru saja mengepakan sayap dan terbang memutari pikiran mereka.

Ah, lagi-lagi aku tidak mengerti…

Setiap terjadi perselingkuhan tetap saja semua mata tajam pada perempuan yang mereka sebut pelakor, gundik, kemudian tentu aja beramai-ramai serang mereka hingga ukuran upilnya pun akan diperdebatkan. Padahal lupa halooo itu yang cowonya emang patung pancoran?

 

Berpisah bukan berati kamu Gagal

“Mbak….akhirnya aku sah berpisah….

“Mbak makasih akhirnya aku bisa lepas ….

“Mbak, aku merasa lebih Bahagia…

Sedikit kutipan yang kudapat setelah mendampingi para perempuan Tangguh yang dengan berani memutuskan tali ikatan pernikahan. Ingat, tidak ada yang menikah dan berencana untuk bercerai.

Aku kira, mereka akan bersedih dan menyesal…

Ternyata, yang bilang perempuan itu perasa dan emosional bisa memutuskan sesuatu yang jelas bukan keputusan impulsive belaka.

Memutuskan untuk mengakhiri suatu hubungan terutama pernikahan jelas tidak mudah. Selain stigma janda yang begitu sesak di dada, tatapan masyarakat yang maha benar, anak-anak dan keluarga.

Namun bertahan dalam ikatan yang menyiksa seperti jerat kawat duri melilit jiwa raga tidak hanya membuat kita terluka, namun juga di sekitar kita. Anak-anak yang tumbuh dalam Broken Home. Menyaksikan kekerasan di dalam rumah, jelas bukan pilihan yang diinginkan anak-anak.

Jangan lupa, Kita juga menghadapi permasalahan pernikahan anak.  Menilik data perkawinan anak dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018 BPS tercatat angka perkawinan anak di Indonesia terbilang cukup tinggi yaitu mencapai 1,2 juta kejadian.

Dari jumlah tersebut proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun adalah 11,21% dari total jumlah anak, artinya sekitar 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah saat usia anak. Jumlah ini berbanding kontras dengan laki-laki dimana 1 dari 100 laki-laki berumur 20 – 24 tahun menikah saat usia anak.

Pernikahan anak sangat terkait dengan angka kematian ibu dan juga KDRT.  Pada tahun 2015 terdapat 394.246 kasus, kemudian pada tahun 2016 bertambah menjadi 401.717 kasus, lalu pada tahun 2017 mengalami peningkatan yaitu 415.510 kasus dan tahun 2018 terus alami peningkatan menjadi 444.358 kasus. Sementara itu, pada 2020, per Agustus jumlahnya sudah mencapai 306.688 kasus.

Lalu apakah esensi pernikahan jika di dalamnya penuh dengan kekerasan? Apakah pernikahan hanya untuk bereproduksi? Ahh banyak sekali pertanyaan seperti benang kusut di kepalaku.

Berpisah juga bukan sesuatu yang illegal, Aturan mengajukan perceraian diatur dalam Bab V Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 telah diatur tentang Tata Cara Perceraian. Alasan perceraian sebagaimana disebutkan dalam PP 9/1975 adalah sebagai berikut.

  • Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
  • Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
  • Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Banyak dari klienku, berpisah karena ia menjadi korban KDRT, Suami yang selingkuh, narkoba, bahkan meninggalkan rumah tanpa kabar, ia ditinggal begitu saja. Terpujilah para perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga, Menjadi kepala keluarga, memilih membesarkan anak sendiri, memilih bekerja, menjadi supir aplikasi online, berjualan, kerja kantoran, apapun itu, terima kasih telah berjuang.

Menikah ataupun bercerai bukan sesuatu pencapaian untuk dibandingkan, Menikahlah Ketika kamu merasa siap. Menikah bukan tentang menyelesaikan setiap masalah, bisa jadi menikah akan menimbulkan masalah-masalah baru, untukmu yang memutuskan menikah

ataupun tidak, tidak apa, menikah bukan suatu pencapaian ataupun perlombaan. Biarkan kita memilih secara sadar dan penuh rasa tanggung jawab. Demikianpun untuk kamu yang memutuskan untuk berpisah, kamu tidak gagal dan ini bukan akhir segalanya, bisa jadi perpisahan adalah awal baru dirimu. Untuk kamu yang berjuang ataupun telah melewati ini semua, saling menguatkan ya…

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *