Setelah Menikah, Tubuh ini Milik Siapa?

Saya tergelitik fenomena akhir-akhir ini, pasangan muda yang baru saja melangsungkan pernikahan mengabarkan mereka akan segera memiliki buah hati, dalam sekejab berita mengudara, semua keluarga hingga titik koma pemberitaan menjadi konsumsi masyarakat jagad maya.

Tidak lama berselang, berita menyedihkan hadir. Kehadiran sang buah hati ternyata belum bisa terwujud karena suatu hal medis dan tentu saja menjadi pukulan besar untuk sang Ibu dan keluarga.

Yang tidak kalah hebat adalah pemberitaan ini masih dibalur dengan “iklan” yang bersemayam, namun validasi iklan ini masih dipertanyakan, kecuali di salah satu media resmi yang menayangkan highlight kesedihan pasangan muda ini.

Tentu saja pasangan muda ini memiliki fans garis keras masing-masing, ucapan duka silih berganti, namun banyak juga yang menghakimi terkait pamalih mengumumkan kehamilan yang masih muda, banyak juga merasa sebagai “wakil Tuhan” untuk menghakimi bahkan komentar pedas tidak luput dari kolom komentar.

Kita akan memaklumi setiap tingkah laku mereka akan jadi sorotan, bahkan mereka bersin mungkin bisa dijadikan konten, tidak mudah sebagai orang awam seperti kita menunjukan setiap detik kegiatan kita dan bisa dinikmati setiap orang, namun lebih dari dua puluh juta subscriber yang kita asumsikan adalah penikmat konten mereka, bahkan yang tidak pernah lepas sedetik pun menikmati episode demi episode kehidupan public figure ini.

Suara Tuhan, Memiliki banyak Anak, Memangnya Kenapa?

Dalam satu cuplikan konten, tersebutlah bahwa Ia beranggapan sebagai Kepala Keluarga yang menjadi tanggung jawabnya karena ia merasa suara suami adalah suara Tuhan karena Ketika menikah ia telah menyerahkan hidupnya kepada laki-laki yang akan beratanggungjawab atas hidupnya. Komentar ini pun banyak dikecam berbagi pihak.

Pemahaman ini banyak diamini masyarakat, belum lagi dibalut dengan nasihat-nasihat pernikahan untuk taat dan tunduk terhadap suami, namun suami seperti apa yang harus kita “taati”. Sedangkan Komisi Perlindungan Perempuan mencatat sebesar 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. KDRT/RP (ranah personal) yang mencapai angka 75% (11.105 kasus). Ranah pribadi paling banyak dilaporkan dan tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan seksual. Jumlah ini tentu lebih banyak yang tidak dilaporkan karena beberapa hal seperti malu, takut, dan ancaman.

Artinya kita butuh merivisi bentuk “ketaatan” kepada pasangan dalam hal ini adalah suami istri. Tentu saja tidak ada yang merencanakan pernikahan akan berakhir buruk, ataupun perjalanan panjang pernikahan akan baik-baik saja, di sini tidak hanya membebankan pada satu pihak namun semua orang yang berada di lingkup rumah tangga untuk bersama-sama menciptkan rasa aman, nyaman dan saling memberikan dukungan.

Tidak mudah memang jika pasangan mengambil keputusan untuk berumah tangga, menurutku itu Langkah yang besar dan diiringi tanggung jawab sepanjang hayat. Komunikasi tentu adalah kunci, membiasakan diri mendiskusikan hal dari Kesehatan fisik, mental dan finansial hingga ke ranjang harusnya bukanlah menjadi hal yang tabu lagi,  bagaimana jika kelak tidak bisa memiliki anak, berapa jumlah anak dan kesiapan kedua orang tua, dan hal-hal lainya.

Makanya tidak heran, kita tidak perlu lah menyuruh orang untuk segera menikah atau menstigma mereka yang tidak mau berumah tangga, karena toh mereka yang tahu kebutuhan dan kemampuan mereka.  Nah, paling sedih itu adalah Ketika mereka yang disebut-sebut “Influencer” menggaungkan nikah muda, kalau dari latar belakang mereka baik secara finansial dan edukasi memang sepertinya mereka akan menjadi pasangan muda idaman para remaja, tapi apa dampaknya terhadap anak-anak yang tidak mendapatkan privillaged Pendidikan, akses Kesehatan bahkan kondisi finansial yang memprihatinkan.

Contohnya adalah di desa tempat saya mendampingi kelompok perempuan muda, aku ingat betul bagaimana satu demi satu dari mereka melepas masa lajang dengan tersipu malu mereka menjawab “Biar, bobo ada yang dikelonin”, ia selintas kita akan tersenyum-senyum mendengarnya. Namun dibalik itu ada lingkaran setang yang membelenggu.

Akses Pendidikan yang minim, angka kematian ibu yang tinggi, akses Kesehatan yang tidak mencukupi, lapangan pekerjaan semakin sempit, ruang gerak semakin dibatasi, lahan semakin diambil alih, kemudian mereka tidak banyak pilihan selain melihat apa yang viral dan terlintas di sosial media. “ Ohh… artis itu aja nikah muda, ohhh Si A aja punya anak banyak keknya baik-baik aja”.

“Loh tapi kan, kita ada pilihan melihat apa yang mau kita tonton atau ikuti” Iya benar sekali, tapi kendali itu aku rasa hanya untuk orang-orang yang memiliki privileged dan terpapar informasi dan edukasi yang tepat. Sisanya, banyak termakan info WAG (Whatssap Grup), klik bait atau hanya baca judul saja, bahkan yaa jika sudah terjebak pada dinamika sosial media yang semakin lama semakin diperburuk oleh buzzer dan lain lain.

Perjalanan panjang megedukasi terkait Kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia masih sangat panjang, seperti yang baru-baru ini viral setelah kabar duka pasangan muda yang baru saja mengalami keguguran anak, bahkan pemberitaan ini dengan cepat tersebar, empunya tubuh pun bereaksi dan bersaksi di depan kamera yang ditayangkan di media sosial. Sedih, iyaa kita semua sedih.

 

Penguasaan Tubuh, Siapakah yang berhak atas tubuhku?

Bahkan jauh sebelum manusia lahir ke dunia bahkan masih di dalam kandungan, pasangan orang tua menantikan jenis kelamin apa yang akan mereka besarkan, bahkan beberapa kalangan pun mengadakan “mini party” “Gender Revealed”. Loh salahkah ? yaa ngak salah juga, namanya orang memiliki kuasa atas keluarganya kan?.

Sebenarnya Ketika jenis kelamin telah diketahui akan menentukan perlakuan dan pola pengasuhan. Akan sangat berbeda pengasuhan antara anak laki-laki dan perempuan. Mulai dari dominasi warna pink yang penuh kelembutan diharapkan akan membesarkan anak perempuan, mainan yang cenderung aman dan berbahan lembut seperti boneka dan masak-masakan.

Lain hal dengan anak laki-laki yang akan menggunakan warna biru sebagai warna yang tegas serta bahan mainan yang keras dari mobilan, pistol, anak laki-laki juga dididik untuk tidak boleh cengeng, tidak boleh “melambai” dan hindari bermain dengan anak perempuan.

Walaupun saat ini muncul trend parenting genderless artinya pola pengasuhan tanpa mengkotak-kotakan anak laki-laki dan perempuan. Tentu saja ini akan tergantung pilihan orang tua masing-masing.

Mari kita beranjak ke siapa pemilik tubuh ini, Ketika lahir bayi perempuan akan ditandai dengan memberi antingan/giwang telinganya akan ditindik, kemudian praktek sunat perempuan pun ternyata masih dipraktekan. Bayi laki-laki akan mengalami sunat Ketika ia sudah mencapai usia yang dirasa cukup matang.

Selain itu, banyak juga kita melihat anak-anak balita menggunakan pakaian yang tertutup mulai dari penutup kepala hingga ujung kaki, mereka dilatih untuk “menutup aurat”, permasalahan ini pun sempat viral dan menjadi perdebatan.

Ternyata Ketika lahir hingga kita bertumbuh ada sesuatu di luar diri kita yang merasa “berkuasa” atas tubuh kita, beranjak dewasa Ketika memasuki masa pubertas yang ditandai pertumbuhan payudara, pubis, suara berubah dan memiliki jakun yang sebenarnya adalah hal yang sangat alamiah, namun stigma yang buruk banyak melekat pada tubuh perempuan.

Mitos-mitos tidak bertanggung jawab pun mengalami perulangang, payudara besar sering diremas lah, bahu bungkuk udang dianggap memiliki gairah sex tinggi lah, jalan ngangkang dianggap tidak perawan, apakah ada stigma pada tubuh laki-laki? Tentu ada tapi tidak sebanyak apa yang dialami perempuan.

Akibatnya perempuan tumbuh dalam tidak percaya diri dan menyalahkan tubuh mereka, belum lagi tampilan tubuh di media sosial yang sering tidak masuk akal menjadi idola para remaja yang masih belum memahami tubuh mereka bahwa setiap tubuh memiliki cerita dan perjuangannya masing-masing.

Lalu, Ketika beranjak dewasa memasuki usia dua puluhan perempuan akan dituntut untuk segera menikah, jika tidak dianggap tidak laku dan akan mendekati masa “expired” untuk menghasilkan keturunan, perkara memilih pasangan hidup pun seringkali oranglain lebih berkuasa daripada yang empunya tubuh dan jiwa.

Jangan khawatir, bahkan setelah menikah, orang-orang akan tetap berusaha “menguasai” tubuhmu, anggapan bahwa setelah menikah bahwa seorang istri menjadi milik suami seutuhnya, sehingga suami memiliki kuasa atas tubuhmu, baik untuk melakukan hubungan sexual bahkan menentukan berapa anak yang akan lahir dari rahimmu, bahkan banyak juga pasangan yang tidak mau menggunakan kontrasepsi ataupun melarang istri menggunakan kontrasepsi.

Kapan, tubuh ini benar-benar bisa aku miliki seutuhnya?

Ketika perempuan berani tampil menunjukan ekspersinya, berkreasi dengan pakaian dan karyanya, banyak sekali perundungan datang, melabeli mereka “jual murah, murahan, pelacur,”. Bahkan Ketika pelecehan terjadi mengapa pelaku pelecehan merasa berkuasa dan seenaknya melakukan pelecehan bahkan itu bukan tubuhnya? Dari mana orang memiliki hak untuk melecehkan bahkan memperkosa tubuh orang lain, bahkan jika itupun dalam suatu ikatan tidak ada satupun alasan pembenaran pelecehan, pemerkosaan, penghinaan atas tubuh orang.

Dari yang saya pahami dan saksikan, bagaiamana tubuh diperlakukan dengan begitu hormat bahkan hingga akhir hidupnya, ada yang dikremasi, dikuburkan, namun tubuh dibersihkan terlebih dahulu, didoakan, diantar hingga tempat peristirahatan terakhir, bahkan ada berita saat itu seorang anak menyumbangkan organ tubuhnya untuk dunia medis, dan para ahli medis memberikan penghormatan terakhir, atau tubuh orang berjuang untuk bangsanya. Bahkan terdapat pemakaman khusus, begitu tingginya sebenernya penghormatan terhadap tubuh.

Lalu mengapa orang seenaknya memperlakukan manusia lain?

Pelaku pemerkosa diminta menikahi korban”, “Seorang anak bunuh diri karena dipaksa untuk menikah siri”, Pelaku pelecehan karena tampan rupawan dan orang berada akan dibela para pemujanya. Iya banyak sekali ironi di negeri ini, di sisi lain belum ada Undang-undang yang melindungi korban.

 

Marilah kita bersama memahami ini di benak kita

Pelecehan terjadi bukan karena pakaiannya

Perkosaan terjadi bukan karena menegak minuman keras

Pelecehan terjadi bukan karena di tempat sepi dan gelap

Tidak ada satupun manusia yang berhak dan layak dilecehkan bahkan diperkosa

Perkosaan terjadi karena Pelaku

Pelecehan terjadi karena pelaku

Berhenti menyalahkan waktu, tempat, dan keadaan

Satu-satunya yang bertanggungjawab adalah PELAKU.

 

Menutup tulisan kali ini, saya mengutip caption Mbak Kalis Mardiasih

Tubuhmu adalah Milikmu

Tubuhmu adalam milikmu

Tubuhmu adalah milikmu

Background vector created by rawpixel.com – www.freepik.com

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *