Permakluman Perselingkuhan

 

“Mbak, dia itu lonte!, gak usah bantu dia!”, ujar seorang perempuan setengah baya dengan napas yang terengah menahan emosi. Pertikaian itu terjadi tepat di dekat Pengadilan Agama. Pagi yang cukup hangat ternyata membuat suasana semakin panas bagi perempuan-perempuan yang berseteru.

 

Aku yang saat itu hanyalah orang random yang kebeneran berada di situasi yang tidak aku mengerti. Tiba-tiba saja seorang perempuan dengan tampilan ala Ibu Pejabat, sanggul rambut tinggi ditutupi oleh kain yang menuntupi rambutnya, ia  berjalan seperti biasa, duduk di tengah ruang kantin berukuran  6×15 meter di mana kami pun sedang mendampingi klien.

Nampak dari sudut mata ini, ia sedang duduk dan menelepon seseorang. Dari tampilanya sepertinya ia berasal dari kalangan menengah, dengan handphone terkini yang harus mengantre dari perusahaan buah apel yang digigit. Perhiasan dan tampilan yang cukup mencolok dari yang lain. Jelas saja beberapa detik ku perhatikan.

Tidak lama, dua orang perempuan tiba-tiba menghampiri Ibu tadi dengan nada meninggi, pertikaian kecil terjadi. Mulanya, hanya cek cok mulut. Ketika aku beranjak untuk mengambil minum di kulkas kantin, seketika suasana semakin memanas. Dua perempuan tadi menjambak Ibu tadi, mendorongnya dengan cukup keras sehingga jilbabnya pun harus terlepas.

Aku yang melintas, rasanya akan menjadi bersalah jika tidak berbuat apa-apa, Walapun tidak terlalu jelas, apa yang mereka ributkan. Namun sedikit banyak nada besar mereka terdengar juga. Dengan logat khas Palembang mereka bertengkar, menyebut bahwa perempuan itu adalah pelakor. Ibu yang marah itu menyebut, perempuan berparas cukup mencolok itu sedang menunggu suaminya yang saat itu sedang sidang cerai, namun perempuan itu membalas bahwa ia pun sedang menunggu jadwal sidangnya. Membingungkan bukan? Seperti Tuhan tidak bermain dadu dalam takdir mempertemukan mereka di suatu waktu.

Aku yang saat itu sedang menunggu jadwal sidang mendampingi klien terpaksa meninggalkan lokasi. Kami berjalan sembari masih membahas apa yang terjadi. Tidak berapa lama, orang-orang keliatan berkerumun dari jauh untuk melihat lebih dekat. Suara itu semakin besar dan menjadi-jadi. Dalam sekejab keributan mengundang orang-orang untuk mencari tahu.

Dari kejauhan terlihat, orang-orang berusaha memisahkan kemudian seorang laki-laki yang rumornya bahwa itu adalah suaminya datang melerai pertikaian para perempuan tadi. Tak lama kemudian ada suara orang-orang berbicara lebih keras, “Wah, pengacaranya kena tampar”. Aku tidak yakin, aku kira perempuan satunya, dan ternyata benar seorang rekan pengacara harus menerima sebuah tangan mendarat di pipinya.

Pertikaian usai namun pembicaraan terus berlanjut. Ada satu pembicaraan yang diungkapkan oleh perempuan pun. “Wajarlah suaminya selingkuh, istrinya aja kaya b*abu. Lakinya lihat tinggi, badan bagus kulit bersih”. Sejenak aku mencoba mencerna kalimatnya, kemudian aku merespon secepat yang aku bisa.”Tapi, bisa jadi suaminya tidak menafkahi dengan baik, bisa jadi disuruh kerja terus, bisa jadi dia juga jadi korban KDRT, bisa jadi suaminya ganteng sekarang karena istrinya”. Lalu mereka tertegun.

Standar memilih pasangan menjelma menjadi beban tidak terlihat

Apa kriteria kamu memilih pasangan?, pasti memiliki preferensi masing-masing, tapi apa salah memiliki kriteria tertentu seperti aku maunya seperti Lee min ho, aku maunya kek Justin Bieber, kalau aku mau yang tampan dan mapan, aku maunya yang setia. Yaaa kita semua banyak maunya. Tapi, apakah benar yang kita inginkan adalah hal yang  benar-benar kita butuhkan.

Tapi, katanya setelah menikah sifat asli pasangan kita akan terlihat?, lalu dengan siapakah kita selama ini berhubungan jika itu bukan sifat asli mereka? Apakah sebuah manipulasi atau  sebuah pencitraan. Lalu, beberapa pasangan yang telah menikah aku tanya, “suami aku cemburuan banget mbak”, sejak kapan mbak cemburuan “Sejak pacaran sih!”, “Suami aku kasar mbak suka mukul”, “sejak kapan mbak dia berubah jadi kasar?”. “Udah dari lama mbak, bahkan pas dulu pdkt juga, aku kira dia berubah”.

Harapan kita yang berusaha membuat orang lain menjadi “lebih baik” seperti fenomena gunung es, apa yang Nampak tidak menampilkan keseluruhan. Kita selalu merasa “kehadiran” kita adalah anugrah dan karenanya kita berusaha membuat orang lebih baik, belum lagi jika pasangan mengatakan “bersamamu, aku menjadi manusia yang lebih baik”, masa?.

Dari yang aku pelajari, tidak ada manusia yang benar-benar berubah jika bukan dari kehendaknya yang berasal dari alam sadar bahwa aku harus menjadi versi lebih baik. Perjalanan lebih baik ini pun sangat subjektif, lebih baik di standar masyarakat kah? Seperti menjadi perempuan yang baik-baik, atau menjadi versi terbaik kita setiap harinya. Karena menjadi lebih baik adalah proses panjang seumur hidup.

Ukurannya pun tidak sama, misal dulu kita tidak suka membaca buku lalu sekarang mulai menggemari buku kemudian membuat buku, baginya itu adalah perubahan yang membawa kebaikan, ini pun akan berbeda dengan ukuran “baik” setiap orang.

Bagi orang tua, ukuran baik ketika anak bisa menurut keinginan mereka, dan  bagi anak ketika mereka bisa menjadi diri mereka dan memilih keputusan atas hidupnya sendiri. Tapi, tentu saja ada orang tua yang memahami keinginan dan memfasilitasi kebutuhan anaknya.

Kembali lagi ke standar pasangan, saat ini informasi benar-benar terbuka luas. Sekarang kita bisa mengantisipasi dan menganalisa kesehatan fisik dan mental pasangan kita.

Saya pun percaya “Tidak ada pasangan menikah yang merencanakan perceraian”, “ Tidak ada istri yang ingin menjadi janda”, jalan hidup jelas siapa yang tahu?. Namun perceraian juga bukan suatu yang buruk jika mendatangkan kezhaliman secara terus menerus bukan?. Tapi bagi perempuan jelas bukan sesuatu yang mudah, bahkan untuk memutuskan ikatan pernikahan, ada anak, ada keluarga, ada banyak pertimbangan, dan salah satunya stigma janda yang buruk di masyarakat.

Bayangkan saja, jika duda akan disebut “duda keren “tetapi bagi janda, akan dilabeli “janda gatal”. Siapun kamu kelak yang membaca tulisan ini, berhentilah menstigma hidup orang lain.  Dengan tidak menstigma sesama perempuan, kamu berhasil menyelamatkan satu kehidupan.

 

Tentang Pernikahan

“Kapan nikah”, “Usia udah matang looh, nunggu apa sih?”, “Yaudahlaa yaa nikah aja, rejekinya nanti ada aja kok”,”Kamu kejer karir terus ihh, gak bete apa single mulu”.

Hai haaaiii terdengar familiar bukan?

Tidak mudah memang untuk menentukan pilihan hidup kita sendiri, kita dituntut mengikuti standar di masyarakat. Apalagi sebagai perempuan, dituntut untuk menikah, punya anak, menjadi perempuan yang baik-baik. Lalu, bagaiamana jika ada perempuan yang tidak menikah, tidak punya anak, dan memilih pilihan hidupnya sendiri?. Jelas stigma akan melekat terus padanya.

Membahas pernikahan jelaslah bukan perkara sederhana. Selain memilih pasangan yang tepat, keluarga yang mendukung, dan masih banyak factor preferensi masing-masing. Sayangnya, ketika calon pengantin focus terhadap resepsi acara, banyak pun yang abai akan kesehatan reproduksinya. Ini berlaku pada perempuan dan laki-laki. Cek kesehatan ini bertujuan mengetahui apakah kita dalam kondisi sehat, dan jika tidak bagaimana mengobatinya, dan beberapa opsi-opsi pilihan, misalnya kecenderungan sulit memiliki anak, ataupun tidak memiliki anak, apa yang akan dilakukan oleh pasangan tersebut.

Sikap keterbukaan juga akan sangat membantu, misalnya pasangan adalah seksual aktif, sehingga kita bisa mengambil langkah-langkah preventif untuk pencegahan penyakit IMS, dll. Selain itu, keterbukaan terhadap finansial, siapa yang menjadi nafkah utama, apakah istri akan tetap bekerja/sekolah/menjadi ibu rumah tangga, di mana kelak akan menetap, bagaimana dengan tabungan, dana darurat dll. Aku tidak tahu apakah ketika penjajakan kamu terbuka akan hal-hal ini?

Ada satu hal lagi yang penting, selain fisik dan finansial. Kamu juga bisa loh ke professional seperti psikolog dan psikiater jika memang menemui ada sesuatu yang menurut kamu tidak wajar, seperti emosional, hypersex, dsb. Jika salah satu pasangan kamu pun sedang terapi di professional tetap dukung mereka ya!. Jelas tidak ada manusia yang sempurna, tidak ada pernikahan yang sempurna. Tapi pernikahan akan menjadi lebih sempurna jika komunikasi berjalan dengan baik dan tentu keduanya merasa nyaman dan aman menjalani hubungan.

Menikahlah jika kamu merasa siap, jangan menikah karena tekanan masyarakat.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *