Perempuan perempuan yang melupakan namanya

“Silahkan ditulis namanya buk”, senyum tulus dari panitia acara sembari memberikan sebuah pena hitam dan menyodorkan kertas berisi daftar hadir.
Ny. Irham, sebuah nama telah tertulis di atas kertas, “Ibu Namanya Irham ya?” tanya panitia sembari memberikan goodie bag. “Oh, itu nama suami saya” Jawabnya dengan lembut. Ia pun berlalu, tetapi tanda tanya masih membekas di benak panitia tadi.
Ketika kita lahir di dunia ini, sebagai bentuk syukur atas kehadiran manusia di bumi ini, orang tua memberikan nama kepada anaknya, dengan harapan akan menjadi kebanggan, penerus keluarga, tidak lupa beberapa seremonial diadakan dengan biaya yang tidak murah.
Tiga takdir yang melekat ketika kita lahir yakni orang tua kita, jenis kelamin dan sebuah nama. Perihal ketika kau dewasa ingin mengubahnya nama dan jenis kelamin, itu hal yang berbeda lagi. Nama menjadi sebuah penanda, nama sebagai sebuah doa, nama sebagai sebuah identitas kelas.
Ketika beranjak dewasa, terkadang kita memiliki lebih dari satu nama. Nama kecil, nama panggilan, nama kesayangan, dan nama lainnya. Nama kita pun bisa bertambah, berkurang, dan bahkan tergantikan. Loh kok bisa?
Di sisi lain, hidup di budaya yang menekankan bahwa “Pernikahan adalah sebuah pencapaian”, yang artinya kamu tidak hanya menikah dengan pasanganmu tetapi beserta keluarga dan “nama baik” tidaklah seperti drama teenlit remaja.
Nama Sebagai Identitas pembeda
Sebuah nama merupakan doa, harapan, dan sebuah perjalanan hidup. Terkadang nama pun diambil dari tokoh-tokoh besar dengan harapan anak tersebut bisa mengikuti jejak sang tokoh. Adapun nama sebagai sebuah pengingat dan perjalanan, misalnya nama dokter yang menyelamatkan, nama rumah sakit, atau bulan kelahiran seperti : Okta, agus, aprlia,—.
Dari nama juga akan menentukan bagaimana kita diperlakukan. Dari nama kita akan diberikan perlakukan feminim maupun maskulin. Pakaian apa yang cocok, warna apa, karir apa, dan segenap aturan yang seketika melekat. Menjadi perempuan baik-baik, menjadi kebanggan keluarga, menjadi penerus generasi selanjutnya.
Nama Sebagai Penentu Status social
Masyarakat Bali memiliki nama yang diawali Kadek, Anak Agung, I gusti, dan gelar lainya tergantung dari mana mereka berasal. Nama-nama ini sebagai penentu status di system kasta, sehingga dengan mudah kita mengetahui dari kasta apa. Nama ini dibawa berdasarkan kelahiran.
Sistem ini dianut pada system patriarki, ketika garis keturunan diwariskan oleh pihak laki-laki, hanya anak laki-laki yang bisa mewariskan nama dan gelar ke keturunanya, sedangkan anak perempuan yang menikah tidak bisa mewarisinya.
Sedangkan di sisi lain, ada pun nama yang didapatkan bukan karena kelahiran. Misalnya melalui pernikahan. Ada yang mendapatkan gelar tertentu yang harus melakukan seremoni, dan ada juga mendapatkan tambahan nama itu secara mandiri.
Bagi masyarakat yang menggangap pernikahan adalah sebuah pencapaian. Menyandang nama suami dianggap sebagai “Prestige”, artinya kamu telah menikah dan mengikuti pencapaian sesuai dengan standar di masyarakat. Beberapa artis pun menambahkan nama keluarga suami ketika telah menikah seperti Nia Ramadani , Menjadi Nia Ramadhani Bakrie.
Kembali ke Ny. Irham, ia memiliki nama bawaan yang melekat pada identitasnya namun ditengah pergaulan dan kebiasaan, ia lebih menyebutkan nama suami. Seperti, rumah ibu Irham, padahal itu bukan Ibunya si Irham tetapi Istri dari bapak Irham. Bahkan Ibu ku lebih suka disebut Ibu Djuanda daripada menyebut namanya sendiri. Menurutnya orang lebih mengenal suami daripada sang istri.
Aku coba telaah kembali, mengapa suami yang lebih dikenal. Ya karena peran-peran public lebih banyak dilakukan oleh laki-laki, sedangkan perempuan melakukan pekerjaan domestic. Ketika memiliki anak pun, nama perempuan semakin tersamarkan, banyak kita kenal Bunda Rayya, Bunda Aisyah, Bunda Ilham, sehingga terkadang kita tidak tahu siapa nama asli dari perempuan tersebut. Ketika ada hajatan, atau orang bertanya lebih familiar dengan sebutan tadi.
Masih ingat, ketika ada pemilihan ketua organisasi dan kepengurusan di kampus. Wajah pengurus perempuan digantikan dengan gambar kartun, sedangkan yang laki-laki tidak. Praktek-praktek seperti ini semakin melanggengkan patriarki, pertama suara perempuan tidak senyapkan, kehadiranya pun disamarkan.
Perempuan sebagai manusia yang dirinya utuh, selayaknya menyadari bahwa kehadiran mereka adalah valid. Bahwa sudah seharusnya perempuan bertindak atas namanya, atas tubuhnya, atas pemikiranya sendiri. Walaupun tidak semua perempuan memiliki “privileged ini”, jika kamu bisa bersuara atas nama mereka, lakukanlah. Sudah saatnya perempuan tidak melupakan identitas diri mereka.