Mengapa Perempuan dan Anak Lebih Rentan Menjadi Korban Ketika Bencana?

Kenapa sih, perempuan lagi perempuan lagi! Yaaa awalnya aku juga berpikirian sama. Selain berbeda jenis kelaminya. Mengapa perempuan terkesan harus selalu “dispesialkan” namun di sisi lain seperti mahluk yang paling “tertindas”?. Tapi, jelaslah kebutuhan perempuan dan laki-laki itu berbeda.
Menurut nationalgeographic.grid.id, Pada bencana tsunami di Aceh 2004, data menunjukkan sebanyak 55-70% korban meninggal adalah perempuan. Kerentanan perempuan dalam bencana juga terjadi pada skala global.
Perempuan pun menjadi korban terbanyak dalam bencana gelombang panas di Prancis pada 2003, yaitu 70% dari 15.000 korban meninggal. Korban badai Katrina di Amerika Serikat adalah mayoritas perempuan miskin Amerika keturunan Afrika.
Waktu itu saya juga mengira “lah yang kena dampak kan semua mau laki-laki dan perempuan? Kok perempuan lebih rentan dua kali menjadi korban dari bencana?” Markibah, mari kita bahas.
- Ketika bencana terjadi kebutuhan perempuan dan anak jelaslah berbeda, selain kebutuhan pokok bantuan seperti makanan, air bersih, selimut dsb. Tetapi akan sangat berbeda untuk perempuan. Di masa penampungan, perempuan yang sedang menstruasi membutuhkan pembalut, air bersih, dan perempuan yang sedang hamil membutuhkan makanan yang bergizi, selain itu kebutuhan balita pun berbeda.
- Menyediakan MCK lebih banyak untuk perempuan, mengapa demikian? Ini pun menjawab mengapa toilet perempuan harus lebih banyak dari laki-laki. Secara organ reproduksi perempuan berbeda dengan laki-laki. Ketika di toilet banyak rangkaian yang harus perempuan lakukan. Demikian pun ketika terjadi bencana, perempuan harus tetap menjaga kebersihan bukan hanya dirinya namun anak-anaknya.
- Di suatu acara Televisi ada sebuah komunitas yang memberikan makanan pendamping asi untuk ibu-ibu serta di sana pun saya mendapat pengetahuan baru mengapa anak-anak harus didata dengan baik, dan adanya dapur yang bersih dan higenis untuk mencuci botol dot anak, bagaimana air panas tersedia. Sementara bantuan sering memberikan serba instant. Belum lagi popok, dan kebutuhan lainnya. Bencana sangat rentan dengan penyakit-penyakit di penampungan.
- Menurut Sosiolog Elaine Enarson menyatakan dalam tulisannya bahwa korban terbanyak dalam bencana alam adalah perempuan dikarenakan beberapa hal yakni adanya konstruksi di masyarakat yang mengharapkan perempuan untuk lebih dulu menyelamatkan anggota keluarganya.
- Kemudian, minimnya pengetahuan dan ketrampilan mitigasi bencana karena perempuan lebih banyak menghabiskan waktunya di kerja-kerja domestic.
- Akses pengetahuan perempuan yang terbatas sehingga tidak mengetahui gejala awal bencana dan memudarnya pengetahuan local / pengetahuan dari leluhur tentang perubahan alam
Indonesia berada di jalur khatulistiwa, berada di ring api, sehingga potensi bencana sangat mungkin akan sering terjadi. Oleh karena itu dibutuhkan penanganan yang tepat. Lalu, bagaimana agar penangangan upaya bencana bisa kita tanggulangi Bersama?
Membangun satu system integritas penanggulangan bencana
- Memberikan Pendidikan dan kesadaran untuk mencintai lingkungan dan latihan penanggulangan diri dari bencana dari sejak dini
- Membentuk kader-kader yang siaga terhadap bencana yang bukan hanya dari tim SAR atau BNPB daerah.
- Menyediakan tempat-tempat siaga bencana yang telah memenuhi standar pengangan bencana. Saya teringat ketika di Aceh, dibangun Menara-menara untuk penyelamatan diri jika terjadi tsunami dan diatasnya sudah disiapkan helipet untuk memudahkan distribusi bantuan jika terjadi bencana, begitupun di Padang, Masjid di Padang pun disiapkan untuk menjadi tempat aman jika terjadi bencana.
- Pemerintah pun melalui kebijakanya bisa mengalokasikan anggaran dan kebijakan untuk menangani bencana yang tentunya berprespektif keadilan.
- Akses informasi terkait bencana yang di update dan harus terdistribusi baik ke masyarakat sehingga masyarakat tahu apa yang harus disiapkan.