Memahami Kekerasan dalam Rumah Tangga Part 1

Seorang perempuan datang dengan wajah tertunduk, dengan rambut sebahu dan agak berantakan selepas dari mengunakan helm, “Permisi, apa benar ini WCC?”, Sapanya dengan suara yang lembut dan sedikit gemetar. Melihat kondisinya yang agak linglung segera aku ajak masuk dan ku persilahkan duduk. Sementara itu beberapa menit aku biarkan ia mengobservasi ruang tamu, dan aku menyiapkan segelas air.
Setelah meletakan gelas, barulah aku bisa melihat wajahnya cukup jelas. Lebam di mata berwarna biru, pipinya cukup membengkak berwarna merah. Singkat cerita, aku memulai menyapa untuk meregangkan suasana, ketika ia sudah cukup siap, mulailah ia bercerita dengan air mata yang tidak berhenti menetes.
Pernikahan mereka mungkin baru seumur jagung, tetapi ia sudah hampir 8 tahun ini bertahan di pernikahan mereka. “Kasian anak mbak..”, “Kalau jadi janda aku gimana, makan apa, belum lagi dikatain orang”. Pilu, ia… itu sering terlontar dari mereka yang menjadi korban kekerasan rumah tangga.
Apa akar masalah mereka? Beragam, ada masalah perselingkuhan, ekonomi, criminal, dll. Cerita singkat tadi hanya dari 1 perempuan yang menjadi korban, di Tahun 2019 Komnas Perempuan pun mencatat ada sebelas ribu lebih perempuan yang menjadi korban. Kekerasan fisik seperti di atas hanya salah satunya saja. Yang Nampak, yang bisa dilihat, yang berbekas. Lalu bagiamana dengan kekerasan psikis yang membuat korban menjadi takut, trauma, dan tidak bisa berbuat apa-apa.
“Kok mau sih dipukulin!”, “Kok gak lari aja!”, “kok gak lapor aja!”
Terdengar familiar bukan?
Permasalahan rumah tangga jelas tidak semudah bacot netijen pastinya. Banyak sekali factor mengapa orang memilih “bertahan” walaupun sudah terkapar, nanti akan aku bahas di “Toxic Relationship”. Pernikahan jelas bukan seperti memilih es krim di etalase, semua manis di awal meleleh di mulut lalu dibuang begitu saja. Pernikahan merupakan komitmen dua belah pihak dewasa yang disepakati bersama.
“Aku yakin, dia berubah”, terdengar klise bukan. Dan kebanyakan korban KDRT pun percaya, belum lagi bujuk rayu dengan membelikan “sesuatu”. Siklus ini biasanya disebut “Honey moon”, siklus kekerasan rumah tangga biasanya tidak jauh dari itu, melakukan kekerasan-penyesalan-berjanji tidak akan mengulang lagi- bujuk rayu – lalu terjadi lagi.
Sebelum membahas lebih jauh, Sedikit gambaran di awal mengenai apa itu kekerasan dalam rumah tangga
Menurut UU Penghapusan Kekerasan Rumah Tangga No 23 Tahun 2004
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadapseseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Ruang Lingkup Rumah Tangga meliputi
.Pasal 2(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :
- suami, isteri, dan anak;
- orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
- orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalamrumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagaianggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tanggayang bersangkutan.
Bentuk-bentuk Kekerasan Rumah Tangga yakni :
- kekerasan fisik;
- kekerasan psikis;
- kekerasan seksual;
- penelantaran rumah tangga.
Kita semua bisa bersama-sama menjadi bagian penghapusan Kekerasan Rumah Tangga ini, Dan tentunya pemerintah, penegak hokum pun harus bersama-sama menghentikan kekerasan rumah tangga ini.
Dasar hukumnya pasal 15 UU PDKRT 23 Tahun 2004
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk : a. mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan perlindungan kepada korban; c. memberikan pertolongan darurat; dan d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Fokus utamanya adalah memutus rantai kekerasan bukan ikatan pernikahan. Semua keputusan akan dikembalikan kepada korban, apakah ia akan meneruskan pernikahan atau melanjutkan. UU ini dapat berlaku jika terdapat delik aduan, artinya proses hokum dapat berlangsung jika ada laporan. Apakah proses hokum ini dapat memutus ikatan pernikahan?, Jawabnya tidak, tapi bisa menjadi salah satu pertimbangan untuk mengajukan gugatan. Kedua proses adalah berbeda.
Pelaku pun dijerat dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara, jika pelapor membuat laporan kemudian mengajukan gugatan maka terdapat dua proses yang berbeda. Saya percaya dua keputusan itu pun tidak mudah untuk diambil. Lalu apa yang harus kita lakukan?. Di artikel selanjutnya saya akan membahas tentang toxic relationship di rumah tangga, dan apa yang bisa kita lakukan.
Silahkan share dan komen agar lebih banyak perempuan yang sadar dan berdaya 😊