5 Pembelajaran dari The World of Married

 

 

 

The world of married sukses membuat para penonton meronta-ronta. Tidak hanya sukses di negaranya, Korea Selatan. Drama ini pun sukses memikat para penonton Indonesia sehingga muncul di layar kaca. Ada yang mengaku “tidak kuat” karena terkenang “masa lalu”, ada juga yang bersemangat mencaci dan memaki di kolom komentar para artis TWOM.

Drama adaptasi dari serial Doctor Foster merajai drama di Korea Selatan  bahkan termasuk drama tersukses sepanjang masa. Tidak heran Korea menjadi negara yang memproduksi drama-drama yang relevan dan menarik minat penonton bahkan di luar Korea Selatan sendiri.

Setelah 16 episode yang membuat penonton sakit kepala dan tensi meningkat, sekarang mari kita bahas, apa yang bisa kita pelajari dari drama ini.

 

  1. Perselingkuhan dan Pernikahan terjadi atas nama “Cinta”

Cinta, katanya yang paling indah dari semua rasa. Namun, cinta juga melandasi manusia untuk bertindak seenaknya dan  menyalahkan perasaan dengan “atas nama cinta”. Diawal drama ini terlihat keluarga yang tampak “sempurna”, finasial yang mapan terlihat dari rumah dan mobil, karir yang bagus, kehidupan pasangan yang “mesra”. Namun, siapa yang menyangka jika terdapat banyak sekali luka dan penderitaan dibalik itu semua.

Sun woo dan Lee tae-oh menikah atas nama “cinta”, lalu lee tae oh berselingkuh dan menikahi Da Kyung atas nama “cinta”. Lalu, apakah ada yang salah dengan cinta itu sendiri?. Di kehidupan nyata permasalahan cinta dan perselingkuhan ini pun semakin rumit. Tidak heran banyak sekali masyarakat yang “Memaklumi perselingkuhan”.

Seperti yang pernah aku saksikan sendiri, para perempuan bergelut, memaki, memojokan perempuan lain yang diyakini sebagai “pelakor”. Ketika melihat sang suami beberapa orang berpendapat “Ohh, wajar selingkuh! Istrinya aja kek b*bu gitu. Liat aja lakinya tinggi, putih, bersih”. Atau sebuah video viral melabrak para pelakor lalu netijen berbondong-bonding menyerang akun diduga “pelakor” tersebut. Jarang sekali ditemui, komentar tersebut ditujukan ke kepada laki-laki.

Di sisi lain, perempuan dituntut untuk tampil sempurna, menjadi istri yang baik, menjaga kehormatan keluarga, melahirkan anak, bisa memasak, mencuci, angkat galon, memuaskan suami, terampil merawat diri. Namun, ketika perselingkuhan terjadi, tidak sedikit perempuan yang menyalahkan dirinya karena merasa “tidak cantik lagi”, mejadi istri yang tidak “penurut”.

Dalam The Journal of Sex Research menyebutkan ada satu faktor yang paling banyak jadi alasan orang selingkuh. Penelitian terhadap 495 orang dewasa itu mengungkapkan, kebanyakan orang berselingkuh karena kurangnya rasa cinta.

Sebanyak 77% partisipan mengaku berselingkuh karena rasa cinta yang sudah berkurang. Fakta yang menyedihkan, karena berarti sebagian besar orang selingkuh karena sudah tidak cinta lagi dengan pasangannya. (Dikutip dari wolipop detik).

Tidak banyak menyadari bahwa perselingkuhan terjadi karena kedua belah pihak yang berkomitmen untuk berselingkuh, namun tetap saja perempuan dari sisi manapun akan disalahkan. Ada yang berselingkuh dengan alesan “bosan”, “istri tidak memuaskan”, “tergoda”, “digoda”. Apapun alasanya perselingkuhan tidak dapat dibenarkan, siapapun yang terlibat dalam perselingkuhan itu berarti telah menodai komitmen secara bersama-sama.

Terjebak dalam situasi seperti ini sangat membingungkan, belum lagi jika pasangan telah memiliki anak. Anak akan dijadikan “alasan” untuk bertahan, karena konsep di masyarakat anak-anak harus tumbuh bersama orang tua (ayah dan ibu), namun jika hubungan orang tua tersebut toxic, apa iya anak merasa bahagia?.

Perselingkuhan merupakan hal yang menyakitkan, tapi bisa dilihat dari sisi positifnya. Ini merupakan pertanda bahwa pasangan yang selama ini bersamamu, ternyata bukanlah orang yang tepat dan bisa menghargai kamu.

 

  1. Kekerasan Rumah Tangga terjadi di setiap lapisan social dan masyarakat

Di drama The World of Married, Sun woo seorang dokter dan direktur muda rumah sakit. Sekilas Nampak bahwa ia memiliki perekonomian yang cukup baik, rumah di komplek mewah, mobil, serta penampilan fashion yang jelas tidak murah.

Namun, apakah ada yang bisa menjamin perselingkuhan dan kekerasan rumah tangga tidak terjadi?. Tidak ada satupun yang menjamin itu. Lalu, ada juga seorang dari menengah ke bawah, tanpa menyebut pekerjaanya, yang menghasilkan uang puluhan ribu setiap hari belum dipotong rokok dan makan dan ia tetap berselingkuh, dan ada yang menikah lagi. Kekerasan rumah tangga ini meliputi kekerasan fisik, psikis, dan penelantaran ekonomi

Komisi Perlindungan Perempuan mencatat sebesar 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. KDRT/RP (ranah personal) yang mencapai angka 75% (11.105 kasus). Ranah pribadi paling banyak dilaporkan dan tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan seksual. Posisi kedua KtP di ranah komunitas/publik dengan persentase 24% (3.602) dan terakhir adalah KtP di ranah negara dengan persentase 0.1% (12 kasus). Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 4.783 kasus (43%), menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual sebanyak 2.807 kasus (25%), psikis 2.056 (19%) dan ekonomi 1.459 kasus (13%).

Bagi seorang perempuan, memutuskan tali pernikahan tidaklah mudah. Seperti TWOM pun, banyak juga yang sudah melampirkan gugatan namun menarik kembali, dengan alasan suami “berjanji” tidak mengulang kembali. Dan banyak juga beranggapan “pelaku” bisa berubah.

Tapi apa iya, sekian lama mengenal dan orang bisa berubah dalam waktu sekejab?, jangan-jangan itu hanya alibi saja? Atau seperti Lee Tae-oh yang selalu menyalahkan sun woo atas apa yang terjadi dalam hidupnya, dan tidak pernah menyadari bahwa ia lah yang bersalah. Prilaku ini juga bisa disebut gaslighting.

Menurut Gottman Mike McNulty, gaslighting bisa merusak kepercayaan diri seseorang dan apa yang mereka yakini. Hal ini juga membuat korban mengarahkan mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak ingin dilakukan. Mereka yang bermental stabil biasanya melakukan gaslighting untuk menutupi situasi tertentu, seperti perselingkuhan. Tapi, rata-rata hal ini dilakukan oleh orang yang berkepribadian narsis dan sosiopat.

“Mereka berusaha mengendalikan orang lain untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan mereka sendiri dengan cara yang manipulatif atau tidak jujur,” kata McNulty.

Sama seperti lee Tae-oh yang bilang ke Da Kyung bahwa ia tidak Bahagia dengan Sun Woo, namun ketika bersama Sun Woo  Lee Tae-oh bersikap manis dan memberikan hadiah agar ia tidak curiga. Seperti siklus KDRT pun, biasanya pelaku akan memberikan janji-janji atau hadiah setelah melakukan kekerasan, fase ini pun disebut “honey moon”.

 

  1. Hubungan yang toxic berbahaya buat diri sendiri dan anak

Apa yang dihadapi Sun Woo sama seperti perempuan lain , yang berjuang untuk keluarganya. Terlihat jelas bagaiamana Sun woo berusaha “melindungi” keluarganya. Hingga ia memutuskan ikatan pernikahan dengan Lee Tae-oh, tetapi permasalahan mereka tidak berhenti di putusnya ikatan pernikahan.

Perseteruan yang tidak berhenti itu, harus mengorbankan anaknya Joon Yung yang bingung akan hubungan ayah dan ibunya, belum lagi polemic di sekolah dan pergaulanya. Beberapa kali ia terlibat dalam masalah dan melibatkan ayah dan ibu mereka.

Di sisi lain, Sun Woo tidak bisa menjelaskan situasinya dan berusaha sebisa mungkin agar Joon Yung tidak khawatir, ketidakterbukaan ini menjadikan pribadi Joon Yung murung dan tidak bersemangat, di beberapa episode juga menunjukan ia menjadi klaptomania.

Pernikahan bukanlah hal mudah untuk diarungi, untuk itu kesiapan kedua pasangan haruslah matang secara fisik, mental  dan finansial. Karena jika tujuan berumah tangga untuk melanjutkan keturunan, kita juga harus siap karena kita akan membesarkan manusia.

Tetapi, mirisnya di Indonesia beberapa selebgram/youtuber/influencer/social media menggaungkan “nikah muda”, padahal pernikahan di bawah usia 17 tahun adalah pernikahan anak. Banyak sekali kasus pernikahan ini tidak berjalan baik, tubuh mereka pun belum siap secara reproduksi terutama perempuan, kasus kematian ibu juga tinggi,

Tapi heranya pernikahan ini juga tidak terjadi di masyarakat pedesaan saja, baru-baru ini sepasang kekasih mengikat janji untuk “menikah muda”, tapi jelas secara ekonomi mereka tidak perlu berpikir lagi “besok makan apa”. Namun, bagaimana jika ini terjadi di masyarakat menengah ke bawah, beban ganda dan kekerasan pun terjadi lebih luas.

Contoh kasus lain, seorang perempuan menikah di usia 17 tahun memiliki anak usai 3 tahun saat ini, menanyakan bagaimana bisa memafkan dengan “iklas” suami yang suka jajan, ia tidak bisa berpisah karena keluarga dan perekonomian.

Mari kita lihat di sisi keluarga yang ekonominya mapan, Di TWOM Da Kyung perempuan muda yang hampir memiliki segalanya, orang tua yang  berkuasa dan bisa menyelesaikan setiap masalah agar anaknya “Bahagia”. Terlihat bahwa, orang tua memiliki peran besar dalam setiap keputusan anaknya, apapun yang terjadi keluarga Da kyung selalu sedia melindungi.

Walapun di awal sepertinya keluarganya tidak setuju, namun di episode selanjutnya keluarga Da Kyung berperan besar. Ternyata memberikan “semua” keinganan anak pun tidak bagus, mungkin ini yang membuat Da Kyung ingin memiliki semua bahkan sudah “milik orang lain”.

Berbicara hubungan yang toxic kita juga melihat Hyun Seo, gadis yang bekerja di bar yang terus dipukuli pacarnya, beberapa kali ia berusaha “melarikan diri” namun ia merasa “kasihan” terhadap pacarnya yang telah melakukan kekerasan. Belum lagi, tetangga Sun Woo, yang berapa kali diselingkuhi suaminya dan tetap “memafkan” dan mengira bahwa mereka akan berubah. Apa iya orang bisa berubah?

 

  1. Jangan Takut Meminta Bantuan Professional

 Sekalipun kamu mengobati orang lain jangan lupa mengobati dirimu sendiri

Banyak sekali korban KDRT tidak tahu harus berbuat atau bicara ke siapa. Akhirnya mereka terjebak dengan berbicara pada orang terdekat ataupun media social. Lalu, apa yang mereka terima?. Biasanya mereka akan cenderung disalahkan, karena menjadi istri yang tidak taat, atau mengumbar  “aib” pasangan. Bahkan di TWOM Sun Woo harus menelan sendiri penderitaan yang ia alami, dan selalu berusaha terlihat tegar di depan anaknya.

Jun Yoong, remaja yang dalam kondisi bingung akan dirinya belum lagi pertikaian orang tuanya, ternyata diam-diam meminta bantuan seorang psikiater, yang tidak lain adalah teman satu rumah sakit Sun Woo. Saat Sun Woo mengetahui itu ia menjadi syok, dan seakan ia tidak mengenal anaknya. Perasaan hampir tidak percaya bahwa ia merasa semua “baik-baik saja”

 

It’s okay not to be Okay

Di era serba cepat dan gangguan semakin tinggi, masyarakat dunia dihadapkan dengan tingkat stress yang tinggi. Tetapi, di sisi lain meminta bantuan professional seperti Psikolog atau Psikiater dianggap “gila”, banyak korban KDRT enggan untuk melaporkan kasusnya, dan “takut” untuk ke psikolog/ psikiater. Padahal its okay jika kamu memang tidak bisa  menghadapi ini sendirian, cobalah meminta bantuan. Meminta bantuan professional yang tepat tidak membuat kamu menjadi manusia lemah, malah kamu akan bertumbuh semakin kuat.

 

 

  1. Menikahlah jika kamu siap

Menikah adalah sesuatu yang sacral dan suci, menurut kebanyakan orang. Tapi mengapa setiap orang “dipaksa” untuk menikah?. “Kapan nikah”, “Kapan punya anak?” terdengar sangat familiar sekali. Banyak sekali anjuran teman dan orang yang lebih tua, menikah untuk menghindari zina, menikahlah karena sudah usia, menikah, menikah, dan menikah. Seakan menikah adalah satu solusi untuk semua masalah. Tapi, apa iya?

Di Indonesia, menikah bukan hanya tentang dua insan yang mengikatkan dirinya. Namun ada keluarga dan keluarga besar yang akan disatukan. Banyak juga menikah dengan biaya yang tidak murah. Ada yang hingga milyaran rupiah.

Persiapan Gedung, catering, make up, pakaian, dan semua tete bengek lainnya. Namun, jarang sekali aku  jumpai orang terdekatku, mengecek kesehatan ketika mereka akan menikah. Kalaupun ada malah cek keperawanan. Aduh!

Ada juga pasangan yang tidak terbuka, yang perempuan sudah menjaga “keperawanan” dengan baik, kemudian karena “percaya” malah si perempuan terkena penyakit menular seksual.  Belum lagi kehamilah di usia anak, bahkan mereka pun tidak tahu tentang cek kesehatan papsmear, cek HIV, dll. Semua hanya berfokus pada “resepsi”.

Ada juga pasangan yang dari pacaran sudah Kasar dan main tangan, kemudian perempuan percaya bahwa ia bisa berubah, namun hingga detik ini tidak lepas cap merah di pipi terus mewarnai. Tidak ada yang berani memeriksakan kesiapan mental diri dan pasangan.

Padahal pengecekan kesehatan ini sangat vital, kita bisa mengetahui riwayat kesehatan diri  kita dan pasangan. Apakah resiko dan bagaiamana terapi yang bisa dijalankan. Namun, setelah menikah muncul masalah kemudian biasnya menyalahkan salah satu pihak yang  biasanya perempuan karena tidak bisa melahirkan anak. Dan solusi pun beragam ada yang ditingglakan atau dimadu. Hal-hal seperti ini sebenarnya bisa didiskusikan sebelum memutuskan menikah.

 

 

Jadi sudah siap jatuh “cinta”?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1 thought on “5 Pembelajaran dari The World of Married

  1. Setuju dengan poin-poin yang ditulis. Dulu aku pernah baca buku judulnya, “Lelaki yang Menangis” tentang KDRT yang terjadi pada sosok suami yang dilakukan oleh istri. Nah, ternyata kekerasan itu pun berlaku 2 sisi.

    Tae Oh ohhh Tae Oh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *